Jumat, 27 Juli 2012
Rabu, 25 Juli 2012
Senin, 14 Mei 2012
15.11
No comments
MAKALAH
ILMU SOSIAL DASAR

Disusun oleh :
Silvia Sofyanita T
(113184007)
Kelas Pendidikan Fisika Reguler 2011
JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Permasalahan
penegakan hukum akhir-akhir ini menjadi perhatian masyarakat luas yang mulai
menunjukkan sikap prihatin karena penegakan hukum yang terjadi selama ini belum
memberikan arah penegakan hukum yang benar sesuai dengan harapan masyarakat
dalam penyelenggaraan Negara hukum Indonesia.
Masyarakat telah
sepakata meletakkan dasar reformasi pada tiga pilar, yaitu pemberantasan
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang ketiganya bertumpu kepada hukum dan
penegakan hukum. Reformasi di bidang hukum dimulai dengan melakukan perubahan
atau amandemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya
ditulis UUD RI 1945) dan dilanjutkan dengan serangkaian perubahan undang-undang
yang berkaitan dengan penyelenggaraan demokrasi dan undang-undang yang
esensinya melanjutkan sikap yang anti KKN dalam lapangan hukum administrasi dan
hukum pidana.
Dalam perjalannya
selama kurang lebih 13 tahun, reformasi di bidang hukum dan penegakan hukum
menunjukkan indikasi yang tidak menggembirakan yang ditandai dengan kecemasan
masyarakat terhadap praktek penegakan hukum, terutama ditujukan kepada tindak
pidana korupsi dan tindak pidana dalam penyelenggaraan Negara
Pada dua sektor yang
terakhir ini (tindak pidana korupsi dan tindak pidana dalam penyelenggaraan
Negara) dalam perkembangannya menunjukkan gelagat yang tidak menggembirakan dan
masyarakat mulai curiga dan meulai tidak percaya karena ada dugaan terjadinya
permainan politik dalam praktek penegakan hukum. Permainan politik ini tidak
dama dengan intervensi politik terhadap aparat penegak hukum, tetapi lebih jauh
lagi terjadi konspirasi antara pemegang kendali politik/kekuasaan, pembentuk
hukum dan dengan aparat penegak hukum dan hakim.
Problem hukum dan
penegakan hukum tersebut tercermin dari adanya indikasi rasa ketidakpuasan
masyarakat terhadap praktek penegakan hukum mulai merembet naik dan adanya
gejala masyarakat cenderung menyelesaikan sendiri di luar pengadilan meskipun
perbuatan tersebut melanggar hukum (melakukan penghakiman sendiri) dan sekarang
mulai ada gerakan untuk menuntut secara resmi dan pengesahan mengenai
penyelesaian perkara di luar pengadilan untuk perkara pidana serta dibentuknya
berbagai komisi independen yang diberi wewenang di bidang penegakan hukum sebagai
bentuk lain dari ketidak percayaan masyarakat terhadap hukum dan penegakan
hukum yang terjadi selama ini.
Dalam kaitan dengan
permasalahan hukum tersebut di atas, pembahasan dalam makalah ini dibatasi
terhadap dua permasalahan hukum yaitu problem penegakan hukum di Indonesia dan
kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan praktek hukum yang menimbulkan sikap
apatisme masyarakat. Dari hasil pembahasan terhadap dua problem hukum tersebut
kemudian dicarikan alternatif pemecahannya dan rekomendasi.
Dalam praktiknya
antara Politik dan Hukum memang sulit dipisahkan, karena setiap suatu rezim
yang sedang berkuasa disetiap negara punya “politik hukum” sendiri dalam
melaksana konsep tujuan pemerintahannya khususnya yang berhubungan dengan
pembangunan dan kebijakan-kebijakan politiknya baik di dalam negeri maupun di
luar negeri.
Maka jangan heran
jika di negeri ini begitu terjadi pergantian Pemerintahan yang diikuti adanya
pergantian para Menteri maka aturan dan kebijakan yang dijalankannya juga ikut
berganti, dan setiap kebijAJakan politik harus memerlukan dukungan berupa
payung hukum yang merupakan politik hukum dari kekuasaan rezim yang sedang
berkuasa agar rezim tersebut memiliki landasan yang sah dari konsep dan
strategi politik pembangunan yang dijalankannya. Strategi politik dalam
memperjuangkan politik hukum tersebut harus dijalankan dengan mengindahkan
etika dan moral politik.
Adapun “Etika
Politik” harus dipahami dalam konteks “etika dan moral secara umum”. Bicara
tentang “etika dan moral” setidaknya terdiri dari tiga hal, yaitu: pertama,
etika dan moral Individual yang lebih menyangkut kewajiban dan sikap manusia
terhadap dirinya sendiri. Salah satu prinsip yang secara khusus relevan dalam
etika individual ini adalah prinsip integrasi pribadi, yang berbicara mengenai
perilaku individual tertentu dalam rangka menjaga dan mempertahankan nama
baiknya sebagai pribadi yang bermoral. Kedua, etika moral sosial yang mengacu
pada kewajiban dan hak, sikap dan pola perilaku manusia sebagai makhluk sosial
dalam interaksinya dengan sesamanya. Tentu saja sebagaimana hakikat manusia
yang bersifat ganda, yaitu sebagai makhluk individual dan sosial. Ketiga, etika
Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan hubungan antara manusia baik sebagai
makhluk individu maupun sebagai kelompok dengan lingkungan alam yang lebih
luas.
Indonesia sebagai
negara yang berdasarkan Hukum yang keberadaannya merupakan produk dari
“keputusan politik” dari politik hukum sebuah rezim yang sedang berkuasa,
sehingga tidak bisa dihindarkan dalam proses penegakan hukum secara implisit
‘campur tangan rezim yang berkuasa’ pasti ada. Apalagi system Pemerintahan
Indonesia dalam konteks “Trias Politica” penerapannya tidaklah murni, dimana
antara Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif keberadaannya tidak berdiri sendiri.
Indonesia menjalankan konsep trias politica dalam bentuk ‘sparation of powers’
(pemisahan kekuasaan) bukan ‘division of power’ (pembagian kekuasaan). Dimana
tanpak di dalam proses pembuatan undang-undang peran pemerintah begitu dominan
menentukan diberlakukannya hukum dan undang-undang di negeri ini.
Kenyataan ini
sebenarnya dapat menimbulkan ketidak puasan rakyat dalam proses penegakan hukum
di Indonesia apa lagi di sisi lain para politikus di negeri ini kurang memahami
dan menghormati “etika politik” saat mereka menjalankan proses demokrasi yang
selalu cenderung melanggar hukum dan aturan main yang mereka sepakati sendiri,
sehingga tidak berlebihan banyak yang mempertanyakan moral politik dari para
politikus bangsa ini. Ekses dari ketidakpuasan rakyat di dalam praktik
demokrasi dan penegakan hukum yang terjadi selama ini telah memunculkan
fenomena distrust dan disintegrasibangsa yang pada gilirannya mengancam
keutuhan NKRI. Tidaklah heran sejak tahun 2001, MPR-RI mengeluarkan Ketetapan
MPR RI No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Dimana lahirnya TAP
ini, dipengaruhi oleh lemahnya pemahaman terhadap etika berbangsa, bernegara,
dan beragama. Munculnya kekahwatiran para wakil rakyat di MPR tersebut
terungkap sejak terjadinya krisis multidimensi yang memunculkan ancaman yang
serius terhadap persatuan bangsa, dan terjadinya kemunduran pelaksanaan etika
kehidupan berbangsa. Hal itu tampak dari konflik sosial yang berkepanjangan,
berkurangnya sopan santun dan budi luhur dalam pergaulan sosial, melemahnya
kejujuran dan sikap amanah dalam kehidupan berbangsa, pengabaian terhadap
ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negeri ini.
Jadi etika politik
pada gilirannya punya kontribusi yang kuat bagi baik-tidaknya proses penegakan
hukum di negeri ini, apalagi moral para Penegak Hukum yang sudah terlanjur
bobrok, maka tidak dapat dipungkiri lengkaplah sudah runyamnya penegakan hukum
di negeri tercinta Indonesia.
1.2
Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan penegakan hukum di
indonesia
2. Bagaimana kondisi penegakan hukum di
Indonesia?
3. Bagaimana upaya penegakan hukum di Indonesia?
4. Apa saja factor – factor yang mempengaruhi
penegakan hukum di Indonesia.
1.3
Manfaat
Penulisan
1. Mengetahui kebijakan – kebijakan pemerintah
khususnya dalam penanganan masalah hukum baik yang berkenaan dengan segala
tindak penyelewengan pemerintah
2. Memberikan kritik dan solusi untuk pemerintah
tentang tindak kebijakan yang seharusnya ditetapkan.
3. Mengetahui dan berupaya membantu usaha
penegakan hokum di Indonesia.
4. Ikut serta dalam kegiatan Negara dimana memang
seharusnya rakyat atau mahasiswa selalu berperan aktif dalam usaha Negara.
1.4
Tujuan
Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian penegakan hukum di Indonesia baik
ssecara implisit maupun secara luas
2. Untuk mengetahui kondisi penegakan hokum di
Indonesia secara meluas
3. Berusaha
membantu dalam upaya membantu
penegakan hokum di Indonesia
4. Untuk mengetahui apa yang menjadi factor –
factor yang mempengaruhi penegakan hukum di Indonesia.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1
Pengertian
Penegakan Hukum
Penegakan
hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya
norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau
hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari
sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan
dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang
terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua
subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif
atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada
norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan
hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya
diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan
memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam
memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu
diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Pengertian
penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi
hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit.
Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung
di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan
peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan ‘law
enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan ‘penegakan hukum’
dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah ‘penegakan peraturan’ dalam arti
sempit.
Dengan
uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu
kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam
arti formil yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai pedoman perilaku
dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun
oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang
untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
2.2 Penegakan Hukum Objektif
Seperti disebut di
muka, secara objektif,
norma hukum yang hendak
ditegakkan mencakup
pengertian hukum formal
dan hukum materiel.
Hukum formal hanya bersangkutan dengan
peraturan perundang-undangan yang
tertulis, sedangkan hukum materiel mencakup
pula pengertian nilai-nilai
keadilan yang hidup
dalam masyarakat. Dalam bahasa
yang tersendiri, kadang-kadang
orang membedakan antara
pengertian penegakan hukum dan
penegakan keadilan. Penegakan
hukum dapat dikaitkan
dengan pengertian ‘law enforcement’ dalam arti sempit, sedangkan
penegakan hukum dalam arti luas, dalam arti hukum materiel, diistilahkan dengan
penegakan keadilan. Dalam bahasa Inggeris juga terkadang dibedakan antara konsepsi ‘court of
law’ dalam arti pengadilan hukum dan
‘court of justice’
atau pengadilan keadilan.
Bahkan, dengan semangat
yang sama pula, Mahkamah Agung di Amerika Serikat disebut dengan istilah
‘Supreme Court of Justice’.
Istilah-istilah itu
dimaksudkan untuk menegaskan
bahwa hukum yang
harus ditegakkan itu pada
intinya bukanlah norma
aturan itu sendiri,
melainkan nilai-nilai keadilan yang
terkandung di dalamnya.
Memang ada doktrin
yang membedakan antara tugas hakim dalam proses pembuktian
dalam perkara pidana dan perdata. Dalam perkara perdata dikatakan bahwa hakim
cukup menemukan kebenaran formil
belaka, sedangkan dalam perkara
pidana barulah hakim
diwajibkan mencari dan
menemukan kebenaran materiel yang
menyangkut nilai-nilai keadilan
yang harus diwujudkan
dalam peradilan pidana. Namun
demikian, hakikat tugas
hakim itu sendiri
memang seharusnya mencari dan
menemukan kebenaran materiel
untuk mewujudkan keadilan
materiel. Kewajiban demikian berlaku,
baik dalam bidang
pidana maupun di
lapangan hukum perdata. Pengertian kita tentang penegakan
hukum sudah seharusnya berisi penegakan keadilan itu sendiri, sehingga
istilah penegakan hukum dan penegakan
keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama.
Setiap norma
hukum sudah dengan
sendirinya mengandung ketentuan
tentang
hak-hak
dan kewajiban-kewajiban para subjek
hukum dalam lalu lintas hukum. Norma-norma hukum
yang bersifat dasar,
tentulah berisi rumusan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
juga dasar dan
mendasar. Karena itu,
secara akademis, sebenarnya, persoalan hak dan kewajiban asasi
manusia memang menyangkut konsepsi yang niscaya ada dalam
keseimbangan konsep hukum
dan keadilan. Dalam
setiap hubungan hukum
terkandung di dalamnya dimensi hak dan kewajiban secara paralel dan
bersilang. Karena itu, secara akademis,
hak asasi manusia
mestinya diimbangi dengan
kewajiban asasi manusia. Akan
tetapi, dalam perkembangan
sejarah, issue hak
asasi manusia itu
sendiri terkait erat dengan
persoalan ketidakadilan yang
timbul dalam kaitannya
dengan persoalan kekuasaan. Dalam
sejarah, kekuasaan yang
diorganisasikan ke dalam
dan melalui organ-organ negara, seringkali terbukti melahirkan
penindasan dan ketidakadilan. Karena
itu, sejarah umat manusia mewariskan
gagasan perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak
asasi manusia. Gagasan
perlindungan dan penghormatan
hak asasi manusia ini
bahkan diadopsikan ke
dalam pemikiran mengenai
pembatasan kekuasaan yang kemudian
dikenal dengan aliran konstitusionalisme. Aliran konstitusionalime inilah yang
memberi warna modern terhadap ide-ide demokrasi dan nomokrasi (negara hukum)
dalam sejarah, sehingga
perlindungan konstitusional terhadap
hak asasi manusia dianggap sebagai ciri utama yang
perlu ada dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat)
ataupun negara demokrasi
yang berdasar atas
hukum (constitutional democracy).
Dengan
perkataan lain, issue hak asasi manusia itu sebenarnya terkait erat dengan
persoalan penegakan hukum
dan keadilan itu
sendiri. Karena itu,
sebenarnya, tidaklah terlalu tepat
untuk mengembangkan istilah
penegakan hak asasi
manusia secara tersendiri. Lagi
pula, apakah hak
asasi manusia dapat
ditegakkan? Bukankah yang ditegakkan itu adalah aturan hukum dan
konstitusi yang menjamin hak asasi manusia itu, dan bukannya hak asasinya itu
sendiri? Namun, dalam praktek sehari-hari, kita memang sudah salah
kaprah. Kita sudah
terbiasa menggunakan istilah
penegakan ‘hak asasi manusia’. Masalahnya, kesadaran umum
mengenai hak-hak asasi manusia dan kesadaran untuk menghormati
hak-hak asasi orang
lain di kalangan
masyarakat kitapun memang belum berkembang secara sehat.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kondisi
Penegakan Hukum di Indonesia
Dalam pelaksanaan penegakan hukum, keadilan harus
diperhatikan, namun hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum bersifat umum,
mengikat setiap orang dan bersifat menyamaratakan. Setiap orang yang berbuat kejahatan harus dihukum tanpa membeda-bedakan siapa yang melakukannya.
Sebaliknya keadilan bersifat subjektif, individualistis dan tidak
menyamaratakan. Apabila diperlukan, dalam proses penegakan hukum diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Berdasarkan
hasil survei LSI yang dilakukan pada tanggal 8-17 Desember 2011. Dengan mengambil
sample sebanyak 1.220 responden dan margin of error plus-minus 2,9 persen pada
tingkat kepercayaan 95 persen. Diperoleh kesimpulan bahwa kondisi penegakan
hukum di Indonesia belakangan ini dinilai buruk. Hal itu dipicu oleh lemahnya
penegakan hukum seperti pada kasus dana Wisma atlet, dana talangan Bank
Century, skandal Nazarudin, dan kasus Nunun Nurbaeti.
Menurut
Direktur Eksekutif LSI Dodi Ambardi, Ph.D, penilaian buruk itu berdasarkan
hasil survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada pertengahan
Desember 2011.
"Hampir
sepanjang pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2005-2011), baru kali ini
lebih banyak rakyat menilai kondisi penegakan hukum secara umum buruk,"
katanya dalam diskusi bertema "Korupsi dan tata kelola pemerintahan",
di Jakarta, Minggu (8/1).
Selain itu,
publik juga menilai kinerja pemerintahan dalam pemberantasan korupsi buruk atau
sangat buruk, dengan proporsi di bawah 50 persen. Padahal, data longitudinal
sejak 2005 sampai 2011 menunjukkan proporsi sikap positif publik senantiasa
lebih besar dalam isu penanggulangan korupsi. Penanggung jawab penurunan
kepercayaan ini bukan hanya pemerintah, tetapi semua pihak yang secara langsung
berkaitan dengan penegakan hukum, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Karena
apa yang dinilai buruk dalam demokrasi Indonesia berkaitan dengan tata kelola
pemerintahan, terutama dalam penegakan hukum (rule of law), dan pengawasan
terhadap korupsi.
Data
Governance Indicator World Bank 2011 menunjukkan, dalam sepuluh tahun demokrasi
Indonesia tidak mengalami kemajuan berarti dan masih tetap negatif. Dimana, korupsi
tinggi, kepastian hukum rendah, regulasi tidak berkualitas, dan inefisiensi
penyelenggaraan negara. Jika ini terus berlanjut, kepercayaan publik terhadap
penegakan hukum dan pemberantasan korupsi bisa semakin menurun.
3.2 Upaya
Penegakan Hukum di Indonesia
Secara
konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang
mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai
tahap akhir, untuk meniptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian
pergaulan hidup (Soekanto, 1979).
Pokok
penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin
mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga
dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.
Faktor-faktor
tersebut adalah, sebagai berikut:
1. Faktor
hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum.
3. Faktor
sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan
rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor
tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari
penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan
hukum. Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas lebih lanjut
dengan mengetengahkan contoh-contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat
Indonesia.
1.
Undang-undang
Undang-undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku
umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah (Purbacaraka &
Soerjono Soekanto, 1979).
Mengenai berlakunya undang-undang tersebut, terdapat beberapa asas yang
tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif.
Asas-asas tersebut antara lain (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1979):
1. Undang-undang tidak berlaku surut.
2. Undang-undang yng dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi pula.
3. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan
undang-undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama.
4. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan
undang-undang yan berlaku terdahulu.
5. Undang-undang tidak dapat diganggu guat.
6. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai
kesejahteraan spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui
pelestaian ataupun pembaharuan (inovasi).
2. Penegak
Hukum
Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya
mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan
sasaran, disamping mampu menjalankan atau membawakan peranan yang dapat
diterima oleh mereka.
Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang
seharusnya dari golngan sasaran atau penegak hukum, Halangan-halangan tersebut,
adalah:
1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam
peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi.
2. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.
3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa
depan, sehingga sulit sekali untuk membuat proyeksi.
4. Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan
tertentu, terutama kebutuhan material.
5. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan
konservatisme.
Halangan-halangan tersebut dapat diatasi dengan membiasakan diri dengan
sikap-sikap, sebagai berikut:
1. Sikap yang terbuka terhadap pengalaman maupun penemuan baru.
2. Senantiasa
siap untuk menerima perubahan setelah menilai kekurangan yang ada pada saat
itu.
3. Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya.
4. Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai
pendiriannya.
5. Orientasi ke masa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu
urutan.
6. Menyadari akan potensi yang ada dalam dirinya.
7. Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib.
8. Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi di
dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
9. Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun
kehormatan diri sendiri dan pihak lain.
10. Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil
atas dasar penalaran dan perhitingan yang mantap.
3. Faktor
Sarana atau Fasilitas
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan
hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain,
mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik,
peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya.
Sarana atau fasilitas mempunyai peran yang sangat penting dalam penegakan
hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak
hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual.
Khususnya untuk sarana atau fasilitas tesebut, sebaiknya dianut jalan pikiran,
sebagai berikut (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1983):
1. Yang tidak ada-diadakan yang baru betul.
2. Yang rusak atau salah-diperbaiki atau dibetulkan.
3. Yang kurang-ditambah.
4. Yang macet-dilancarkan.
5. Yang mundur atau merosot-dimajukan atau ditingkatkan.
4. Faktor
Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai
kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu,
maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut.
Masyarakat Indonesia mempunyai kecendrungan yang besar untuk mengartikan
hukum dan bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak
hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah, bahwa baik buruknya hukum
senantiasa dikaitkan dengan pola prilaku penegak hukum tersebut.
5. Faktor
Kebudayaan
Kebudayaan(system) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang
mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak
mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk
(sehingga dihindari). Pasangan nilai yang berperan dalam hukum, adalah sebagai
berikut (Purbacaraka & Soerjono soekantu):
1. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.
2. Nilai jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan.
3. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.
Di Indonesia masih berlaku hukum adat, hukum adat adalah merupakan hukum
kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian
tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, Upaya untuk mencapai ketertiban dan
keadilan dalam penegakan hukum masih sedikit mengalami perubahan dan perbaikan
dari sistem peradilan itu sendiri. Keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan
hukum di negara kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih
menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan
persoalan kita sebagai Negara Hukum yang mencita-citakan upaya menegakkan dan
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum tidak mungkin
akan tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau belum mencerminkan perasaan atau
nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin
menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu
yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita
hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaruan
hukum atau pembuatan hukum baru. Dan untuk mewujudkan hukum yang berkeadilan
dan mengayomi masyarakat maka juga diperlukan partisipasi dari rakyat .
Langganan:
Postingan (Atom)